Selama ini kita di buat terkagum-kagum
dengan panglima perang Muslim era kenabian atau pun era ke khalifahan Islam
yang gagah berani melawan kejahatan ataupun membebaskan sebuah kota muslin yang
tertindas, tapi tahukan kalian pada masa abad modern ternyata kita memiliki
panglima perang yang tidak kalah
beraninya dengan era kenabian atau era khalifahan Islam, Yup…Dibumi nusantara
ini kita memiliki salah satu jenderal perang Muslim terbaik sepanjang sejarah.
Ia adalah Jenderal Soedirman yag mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat
dan bersama para pejuang lainnya dengan persenjataan yang tidak sebanding
dengan para penjajah pada masanya berhasil mengusir penjajah di Buni Pertiwi
dan membuat para tentara penjajah Belanda ketakutan bila mendengar namanya.
Mari kita sejenak kita menoleh
kebelakang mengenal sosok jendral Muslim ini,
Awal Kehidupan Sang Jendral
Jendral
Besar Raden Soedirman Lahir 24 Januari 1916, dari pasangan Karsid Kartawiraji dan
Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di
rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda (saat itu nama Indonesia
belum ada dan masih menjadi jajahan Belanda). Jenderal Soedirman pun
mendapatkan gelar raden karena dianggap sebagai anak sendiri oleh Cokrosunaryo.
Sejak kecil ia dididik dengan sangat baik oleh orang tua angkatnya itu. Ia
disekolahkan hingga menjadi pemuda yang sangat cerdas.
Hingga berumur 18 tahun, Jenderal
Soedirman tidak pernah diberitahu siapa orang tua aslinya. Ia hanya tahu jika
Cokrosunaryo adalah ayah yang menyayanginya dengan tulus. Setelah Cokrosunaryo
pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke
Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar. Di Cilacap, Karsid dan
Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal
dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kembali kedua
putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan
Onje, Ajibarang.
Soedirman dibesarkan dengan
cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata karma Priyayi serta
etos kerja dan kesederhanaan wong cilik,
atau rakyat jelata. Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di
bawah bimbingan Kyai Haji Qahar. Soedirman adalah anak yang taat agama dan
selalu sholat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan Adzan dan Iqomat
Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school). Meskipun hidup berkecukupan, keluarga
Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo
tidak mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur
mesin jahit Singer.
Pada tahun kelimanya bersekolah,
Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang
diterimanya di sekolah milik pemerintah Hindia Belanda permintaan ini awalnya
ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada
tahun ketujuh sekolah. Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah
Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonasi Sekolah
Liar karena diketahui tidak terdaftar. Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo
adalah Nasionalais Indonesia yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap
penjajah Belanda, Soedirman belajar dengan tekun di sekolah, gurunya Suwarjo
Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua
di saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu.
Meskipun lemah dalam
pelajaran Kaligrafi Jawa Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika,
ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia. Soedirman juga menjadi semakin taat agama
di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya
memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman
juga memberikan ceramah agama kepada siswa lainya Selain belajar dan beribadah,
Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan
tim Sepak Bola sebagai Bek. Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan
keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya
tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahu Setelah kepergian ayah tirinya,
Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa.
Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.
Sayangnya masa kuliah dari Jenderal
Soedirman harus berakhir setelah setahun dijalani. Beliau tidak memiliki uang
lagi untuk membayar biaya kuliah yang cukup mencekik. Akhirnya dengan berberat
hati, Jenderal Soedirman kembali ke Cilacap dan mengajar di sekolah dasar
Muhammadiyah yang membuatnya semakin dikenal dan diakui oleh banyak masyarakat.
Kepandaian yang dimiliki oleh Jenderal
Soedirman membuat seorang gadis bernama Alfiah kepincut. Akhirnya Jenderal
Soedirman menikahi Alfiah yang merupakan anak dari pengusaha batik terkaya di
daerah itu. Dari pernikahan ini, Jenderal Soedirman dikaruniani 3 orang anak
yang bernama Didi Praptoastusi, Didi Sutjiati, dan Titi Wahjuti Setyaningrum.
Menjadi
Anggota PETA
Soedirman Jendral Muslim Sang Penakluk Imperialis-Jenderal Soedirman pernah menjadi
anggota PETA yang merupakan tentara bentukan Jepang. Ia ditunjuk sebagai
komandan dan bertugas merekrut banyak anak muda di daerahnya untuk bergabung
dengan PETA. Jepang melatih Soedirman bersama dengan anak pribumi lain
berperang dengan harapan mampu berperang dan menghalau tentara Sekutu yang
mulai gencar memburu Jepang di mana saja mereka berada.
Pergolakan tentara PETA yang ada di
daerah lain membuat bawahan Jenderal Soedirman ikut memberontak. Bahkan mereka
sempat membunuh satu orang Jepang. Mengetahui hal ini Jenderal Soedirman
mengusahakan agar anak buahnya tidak dibunuh sebagai syarat pemberontakan akan
dihentikan. Jepang menyetujui hal itu meski akhirnya mengirim mereka ke kamp
konsentrasi dan dipekerjakan secara kasar.
Dipercaya Sebagai Pemimpin Perang
Setelah diasingkan ke kamp konsentrasi,
Jenderal Soedirman dan anak buahnya kabur ke Jakarta. Mereka tahu Hiroshima dan
Nagasaki dibom dan kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan saat itu juga. Ia
menemui Soekarno dan disuruh untuk menjabat sebagai anggota Badan Keamanan
rakyat cabang Banyumas. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri
tentara jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi local Badan
Kemanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober
oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo dan Soedirman bertanggung jawab atas
divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk
menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta Soedirman terpilih menjadi panglima
besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir,
menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan
serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan
penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat
terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada
tanggal 18 Desember.
Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi
kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah
Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati yang turut disusun oleh
Soedirman dan kemudian Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus
mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan
penarikan 35.000 tentara Indonesia.
Ia juga menghadapi pemberontakan dari
dalam, termasuK Upaya Kudeta oleh PKI Tahun 1948. Ia kemudian menyalahkan
peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit Tuberkolosis karena
infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa
hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi
Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik
berlindung Di Kraton Sultan Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan
dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan
Gerilya selama tujuh bulan.
Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi
Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di
Sobo, di dekat Gunung Lawu Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan
militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto Ketika Belanda mulai menarik diri,
Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin
terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh
Presiden Soekarno.
Ketika Penyakit TBC yang diidapnya kambuh ia pensiun dan pindah ke
Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi
seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang
berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus
dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembanga Esprit De Crops bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya
sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh Taruna
Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang
kertas Rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah
jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
Inilah sekelumit kisah hidup Jenderal
Soedirman yang sangat hebat itu. Meski akhirnya meninggal di usia yang muda, ia
telah membawa perubahan besar bagi Indonesia. Dan kita semua harus memberikan
penghormatan terbesar untuk beliau. Jenderal Soedirman merupakan
seorang muslim taat yang berjuang mati-matian dengan keterbatasan fisik dan
senjata, bersama rakyat untuk membuat Indonesia terus merdeka dan diakui dunia
internasional dari Belanda yang ingin kembali menjajah Bumi pertiwi dibantu dengan para
tentara sekutu.
Negara ini didirikan oleh darah para pejuang muslim khususnya dan Rakyat Indonesia pada umumnya, sudah menjadi Tugas setiap muslim bersama masyarakat laiinnya menjaga negaranya, semoga rakyat menjadi waspada terhadap penjajahan gaya baru yang akan terus mengintai bumi Nusantara.
SPN