Kisah tentang
Keumala Hayati atau yang lebih dikenal dengan nama Malahayati. Panglima perang
Kerajaan Aceh sangatlah melegenda. Dia adalah muslimah pertama di nusantara dan bahkan dunia yang
menjadi laksamana di zaman pelayaran modern. Saat sebagian besar rakyat negeri
ini belum memikirkan emansipasi, dia sudah mendobrak batas-batas gender yang
baru dibincangkan kemudian.
Malahayati Laksamana Muslimah Pertama Di Dunia-Ketika dunia masih sibuk membincangkan kesetaraan
gender di Aceh pada abad 15 telah muncul seorang perempuan perkasa yang
memimpin di garis depan, Laksamana Keumalahayati Dialah perempuan pertama di
dunia yang memegang pucuk pimpinan tertinggi sebagai Panglima Angkatan Laut
Armada Selat Malaka kerajaan Darud Donya Darussalam dan pernah berjuang melawan
Portugis hingga ke Johor. Putri dari Laksamana Mahmud Syah kakeknya Sultan
Ibrahim Ali Mughayat Syah pendiri kerajaan Aceh Darussalam.
Ajaran Islam memang dianut dengan serius di Aceh.
Namun, urusan gender tidak terlalu jadi persoalan. Buktinya, Kesultanan Aceh
Darussalam pernah diperintah oleh beberapa ratu atau sultana. Pada periode
selanjutnya pun Aceh cukup lekat dengan kepemimpinan para wanita tangguh macam
Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan seterusnya.
Enam abad silam,
perempuan yang juga disebut dengan nama Malahayati ini memimpin seribu lebih
perempuan. Mereka para janda prajurit Kerajaan Aceh yang gugur dalam
pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru alias Selat Malaka.
Sejak kecil, Malahayati tidak terlalu suka bersolek. Ia lebih gemar berlatih ketangkasan yang kelak membawanya menuju cita-cita yang memang didambakannya: menjadi panglima perang meskipun ia seorang perempuan. Bakat itu mengalir langsung dari ayah dan kakeknya yang pernah menjabat sebagai laksamana angkatan laut Kesultanan Aceh.
Sejak kecil, Malahayati tidak terlalu suka bersolek. Ia lebih gemar berlatih ketangkasan yang kelak membawanya menuju cita-cita yang memang didambakannya: menjadi panglima perang meskipun ia seorang perempuan. Bakat itu mengalir langsung dari ayah dan kakeknya yang pernah menjabat sebagai laksamana angkatan laut Kesultanan Aceh.
Di dalam tubuh
Malahayati memang mengalir darah kesatria. Keumalahayati, adalah salah
seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh Ayahnya bernama
Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad
Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun
1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali
Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam
Pada tahun
1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia
dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat
Syah IV.
Awalnya, pasukan Inong Balee hanya beranggotakan
1.000 orang. Namun kemudian kekuatannya bertambah menjadi 2.000 tentara wanita.
Malahayati menjadikan Teluk Lamreh Krueng Raya sebagai pangkalan militernya,
dan di perbukitan yang terletak tidak jauh dari situ, ia membangun benteng
sekaligus menara pengawas.
Malahayati
memang tampak menonjol pada masa-masa itu. Selain mengelola pasukan, ia
mengawasi seluruh pelabuhan dan bandar dagang di wilayah Aceh Darussalam,
beserta kapal-kapalnya. Saat itu, kesultanan memiliki tidak kurang dari 100
buah kapal berukuran besar yang masing-masing bisa mengangkut lebih dari 400
penumpang.
Malahayati mengenyam pendidikan militer selepas dari pesantren. Dia masuk
jurusan angkatan laut akademi militer Kerajaan Aceh, Ma'had Baitul Makdis.
Akademi militer kenamaan Kerajaan Aceh yang yang merekrut beberapa orang instruktur perang
dari Turki yang dibangun atas dukungan Sultan Selim II,
penguasa Turki Utsmaniyah. Malahayati tampaknya memang sangat berbakat di jalan yang harus
ditempuh dengan berjibaku itu.
Di akademi militer itu, Malahayati tumbuh sebagai sosok brilian. Di situ pula dia bertemu dengan kakak angkatan yang kemudian menjadi suaminya. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam. Sang suami menjadi laksamana.
Namun sayang, suaminya gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis. Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.
Gayung bersambut. Saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda.
Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa dilihat di Aceh.
Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu orang. Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar.
Dua kapal besar berbendera Belanda tampak merapat ke Pelabuhan Aceh pada pertengahan Juni 1599. Dua kapal tersebut dinakhodai oleh dua bersaudara, yakni Frederick dan Cornelis de Houtman.
Pelayaran ke Aceh menjadi tujuan yang ke sekian kalinya bagi de Houtman bersaudara di wilayah Nusantara. Apesnya, nyaris seluruh upaya menemukan pusat rempah-rempah itu berujung kegagalan. Banten, Madura, hingga Bali, sebelumnya telah disambangi, namun selalu berakhir dengan pertikaian kontra warga lokal lantaran tabiat kaum pelaut Belanda yang memang kurang bersahabat.
Pada 21 Juni
1599, pasukan ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang dengan
Kesultanan Banten tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin Cornelis dan Frederick
de Houtman itu disambut baik. Namun armada asing itu malah menyerbu pelabuhan
Aceh.
Kerajaan Aceh melawan. Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan. Pasukan janda itu sangatlah tangguh. Armada Belanda dilibas. Bahkan pada 11 September1599, Cornelis de Houtman tewas di tangan Malahayati dalam sebuah duel di atas geladak kapal, Malahayati menggenggam erat sepucuk rencong di tangannya, sementara si kapten Belanda bersenjatakan pedang. Duel satu lawan satu pun terjadi antara dua manusia yang berbeda jenis kelamin itu. Pada satu kesempatan di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam Cornelis hingga tewas sedangkan Frederick de Houtman ditawan selama dua tahun.
Tak kapok, Belanda mengirim pasukan pada 21 November 1600. Kali ini di bawah komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah-rempah di pantai Aceh.
Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.
Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.
Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa.
Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumloah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.
Malahayati sungguh melegenda. Namanya saat ini dipakai untuk jalan, rumah sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal perang TNI Angakatan Laut. Namun sayang, sangat sedikit literatur tentang tokoh sebesar Malahayati ini. Sehingga tidak diketahui pasti kapan tahun lahir dan meninggalnya.
Kerajaan Aceh melawan. Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan. Pasukan janda itu sangatlah tangguh. Armada Belanda dilibas. Bahkan pada 11 September1599, Cornelis de Houtman tewas di tangan Malahayati dalam sebuah duel di atas geladak kapal, Malahayati menggenggam erat sepucuk rencong di tangannya, sementara si kapten Belanda bersenjatakan pedang. Duel satu lawan satu pun terjadi antara dua manusia yang berbeda jenis kelamin itu. Pada satu kesempatan di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam Cornelis hingga tewas sedangkan Frederick de Houtman ditawan selama dua tahun.
Tak kapok, Belanda mengirim pasukan pada 21 November 1600. Kali ini di bawah komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah-rempah di pantai Aceh.
Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.
Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.
Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa.
Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumloah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.
Malahayati sungguh melegenda. Namanya saat ini dipakai untuk jalan, rumah sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal perang TNI Angakatan Laut. Namun sayang, sangat sedikit literatur tentang tokoh sebesar Malahayati ini. Sehingga tidak diketahui pasti kapan tahun lahir dan meninggalnya.
Emansipasi sejak
jaman penjajahan memang masih belum dikenal, tetapi sejarah telah menorehkan
lain, ternyata angin emansipasi lambat laun berhembus menuju Bumi Nusantara.
Kehebatan kaum perempuan Melayu-Nusantara telah menginspirasi perubahan peran
kaum perempuan di seluruh dunia, terbukti torehan nama kapal perang KRI
Malahayati yang diambil dari seorang pejuang perempuan dari Aceh sebagai
admiral perempuan pertama di dunia. Beliau juga tercatat dalam sejarah sukses
menghalau Portugis dan Belanda masuk ke Aceh, sesuai catatan seorang wanita
Belanda, Marie Van Zuchtelen, dalam bukunya berjudul “Vrouwlijke Admiral
Malahayati” (Malahayati- Sang Admiral Wanita).
Demikian seklumit
cerita kepahlawanan muslimah nusantara yang rela berjuang demi kehormatan agama
dan tanah airnya yang penulis ambil dari berbagai sumber apabila ada kesalahan
atau kekurangan penulis mohon maaf dan koreksi serta masukan yang bermanfaat
yang penulis tunggu.
No comments:
Post a Comment