Makanan indonesia terkenal dengan banyaknya pilihan menu
makanannya, salah satunya yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, yaitu swike. Swike atau Swikee
adalah Masakan Tionghoa Indonesia yang terbuat dari paha kodok.
Hidangan ini
dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng kering, atau ditumis. Aslinya
hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah "swikee" berasal dari
dialek Hokkian ( súi-ke) sui (air)
dan ke (ayam), yang merupakan bahasa
slang atau penghalusan untuk menyebut kodok sebagai "ayam air".
Namun bagi umat Islam, tidak boleh sembarangan dalam memilih
makanan. Halal dan haram merupakan persoalan yang penting dan menjadi perhatian
khusus dalam syari’at
Islam. Karena masalah tersebut berkaitan erat mengenai hubungan antara hamba dengan Rabb-Nya.
Apabila kita mengkonsumsi
makanan yang haram maka dampak yang kita dapat adalah amalannya tidak diterima dan do’anya sulit dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu maha baik, Dia tidak mau menerima amalan dari
hamba-Nya kecuali yang baik pula. Sedangkan
awal dari sebuah amalan baik adalah berawal dari makanan halal dan thayyib
yang masuk didalam tubuh manusia.
Dewasa ini, sering ditemui di
restaurant,
tempat makan atau bahkan warung yang berada di pinggiran jalan menjual menu special daging katak atau yang sering kita dengar dengan sebutan
menu swikee. Katak merupakan hewan amfibi. Akan tetapi, katak
termasuk hewan yang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi secara langsung
ketika masih hidup atau sudah mati dan terkadang dijadikan sebagai obat.
Bahkan menu ini sudah menjadi
makanan khas salah satu daerah di Indonesia, yaitu Purwodadi. Karena tidak
sedikit dari masyarakat mengkonsumsi menu tersebut.
Halalkah Swike atau Daging Kodok?-Berangkat dari problematika
di atas, katak hijaulah yang menjadi bahan baku menu swikee, namun ulama
masih memperselisihkan mengenai hukum kehalalan dan pengharaman menu tersebut.
a.
Antara Katak dan Kodok
Secara definisi dalam dunia taksonomi,
perbedaan antara katak dan kodok tidak memiliki arti khusus. Akan tetapi
secara umum didalam kehidupan masyarakat sehari-hari, mereka mengatakan
perbedaan keduanya berdasarkan beberapa segi fisik yang dimiliki.
Didalam Wikipedia
diterangkan, katak dalam Bahasa Inggris: frog adalah binatang amfibi
pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin,
berwarna hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang,
pandai melompat dan berenang. Sedangkan kodok, nama lain dari bangkong Bahasa Inggris: toad, memiliki kulit yang kasar dan
berbintil-bintil atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki
belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan bangsa katak kurang pandai
melompat jauh.
b.
Pengertian Mengkonsumsi Katak
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa makna mengkonsumsi adalah menggunakan atau
memakai barang-barang yang memenuhi kehidupan, atau dengan arti lain adalah
memakan. Mengkonsumsi
katak berarti memakan katak hijau guna memenuhi kehidupan.
c.
Dalil Tentang Haramnya Makanan
Pada dasarnya semua makanan
yang Allah Ta’ala ciptakan adalah halal kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Seperti dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ
جَمِيعًا ...
“Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” (QS. Al-Baqarah: 26)
Kemudian seseorang tidak
boleh mengatakan sebuah makanan adalah haram kecuali ada dalil yang
mengharamkannya secara pasti. Seperti dalam firman Allah Ta’ala:
.....وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ.....
”...dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk....” (QS. Al-‘A’raf:157)
Ibnu Katsir dalam bukunya Tafsir
al-Qur’an al-Adhim menjelaskan bahwasanya sebagian ulama berkata,
sesungguhnya Allah Ta’ala menghalalkan semua makanan yang hendak
dikonsumsi apabila makanan tersebut baik serta bermanfaat bagi tubuh dan agama.
Adapun semua yang diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah
makanan kotor atau buruk yang membahayakan bagi tubuh dan agama.
Dalam berfirman-Nya pula:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي
الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:126)
Apabila kita mengkaji lebih
mendalam dalil dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah Ta’ala telah
merinci makanan yang baik dan yang buruk untuk hamba-Nya. Oleh sebab itu,
sebagai aplikasi ketaatan kita kepada Allah Ta’ala hendaknya memilah
makanan yang halal dan thayyib untuk kesehatan badan kita.
Setelah kita mengetahui hukum
asalnya makanan adalah halal disertai harus thayyib, maka dalil berikut
ini berkenaan dengan makanan haram secara khusus. Terdapat banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
menerangkan tentang haramnya makanan, namun dalam makalah ini hanya beberapa
yang dicantumkan. Yaitu:
Haram karena dalil Al-Qur’an
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ .....
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. (QS.
Al-Maidah: 3)
b.
Haram karena dalil As-Sunnah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ
كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang
untuk memakan semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang berkuku
tajam.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad).
Haram karena terdapat dalil
larangan untuk dibunuh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ
وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang
untuk membunuh burung Shurad, katak, semut dan burung Hudhud.” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad)
Haram karena terdapat dalil
perintah untuk dibunuh
عَنْ سَعْد بن أَبِي وقاص: أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ
فُوَيْسِقًا
Dari Said bin Abu Waqqash Radhiyallahu
‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah
memerintahkan kaum muslimin untuk membunuh cecak dan beliau pun menamainya si
penjahat kecil. (HR. Muslim dan Imam Ahmad)
Jenis-Jenis Katak
Disekitar kita terdapat
berbagai jenis katak. Menurut masyarakat tidak semua katak dapat dikonsumsi
secara bebas. Karena ada katak yang beracun dan ada beberapa katak yang dapat
dikonsumsi.
Katak tergolong dalam ordo
Anura, yaitu golongan amfibi tanpa ekor. Pada ordo Anura terdapat
lebih dari 250 genus yang terdiri dari 2600 spesies. Berikut ini terdapat 4
jenis katak di Indonesia yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat, yaitu:
1. Rana cancrivora (katak sawah), hidup di sawah-sawah. Salah satu cirinya
terdapat bercak-bercak coklat tua pada punggung dari depan sampai belakang.
Ukuran badannya dapat mencapai 10 cm. Warna dagingnya putih.
2. Rana Macrondo (katak hijau), yang berwarna hijau dan dihiasi
totol-totol coklat kehijauan. Badan bagian depan lebih tinggi dibandingkan
badan bagian belakang. Katak ini dapat tumbuh mencapai 15 cm. Pahanya panjang
dan dagingnya berwarna kekuningan. Hidup di sungai-sungai, dapat juga hidup di
sawah-sawah.
4. Rana Musholini
(katak batu atau raksasa). Ciri khas dari katak ini adalah kepala
berbentuk
pipih dan moncong halus berbentuk segitiga, ujung moncong ada yang runcing dan
ada pula yang tumpul. Gendang telinganya terlihat jelas.
Pada kelopak matanya
terdapat bintil-bintil. Pada bagian kepala dan punggung warna kulitnya coklat
kelabu muda atau kelabu hitam sampai hitam dengan bercak-bercak hitam dan
coklat. Pada bagian perut warna kulitnya putih bersih dan secara umum seluruh
permukaan kulitnya baik punggung maupun perut bila diraba terasa lebih halus.
Katak ini hanya terdapat di Sumatera terutama Sumatera Barat. Mencapai berat
1,5 kg dan panjangnya mencapai 22 cm.
E.
Hukum Mengkonsumsi Katak
Ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi hukum mengkonsumsi katak. Ada pendapat yang melarang mengkonsumsi dan
ada pendapat yang membolehkannya
.
1.
Pendapat yang melarang
Adapun ulama yang melarang
untuk mengkonsumsi katak adalah Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Abdullah bin Abdur Rahman
ad-Dimasyqi al-Utsmani asy-Syafi’i dalam kitabnya Rahmah al-Ummah fii Ikhtilaf
al-Aimmah menerangkan perkataan ulama mengenai larangan mengkonsumsi katak:
Abu Hanifah mengatakan:
“Tidak boleh memakan binatang laut kecuali ikan dan dari jenis binatang laut
secara khusus.”
Imam Ahmad mengatakan: “Boleh
memakan binatang laut kecuali buaya dan katak. Diharuskan untuk menyembelihnya
kecuali ikan seperti babi laut, anjing laut, dan binatang yang jinak.”
Dan sebagian ulama
Syafi’iyyah berpendapat, “Binatang laut tidak boleh dimakan kecuali ikan. Dan
sebagiannya yang lain berkata: Larangan untuk memakan anjing laut, babi laut,
ikan-ikan besar, tikus, kalajengking dan yang menyamai binatang darat.”
Didalam kitab yang lain,
ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, “Hewan yang bisa hidup di darat
dan di laut haram dimakan karena termasuk khabits. Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melarang membunuh katak, jika katak itu halal Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam tidak akan melarang untuk membunuhnya”.
Ulama Syafi’iyyah
berpendapat, “Semua bangkai yang berada di air adalah halal kecuali katak”.
Ulama Hanabilah berpendapat,
“Setiap hewan yang bisa hidup di darat dan di air tidak halal jika tanpa
disembelih, seperti katak tidak boleh dimakan karena Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melarang untuk membunuhnya.”
Disebutkan dalam buku Mausu’ah
al-Fiqh al-Islamiy wa al-Qadaya al-Mu’ashirati, pendapat jumhur ulama
selain Malikiyah adalah memakan katak hukumnya haram. Sebagaimana dalam hadist
dilarangnya membunuh katak.
Hujjah yang mereka ambil
adalah dari hadits Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam berikut ini,
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ: أَنَّ
طَبِيْبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ
يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ
قَتْلِهَا
Diriwayatkan oleh Abdurrahman
bin Utsman al-Quraisy: “Bahwasanya seorang dokter bertanya kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang katak yang dipergunakan dalam campuran
obat, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang membunuhnya.”
(HR. Abu Dawud)
Semakna dengan hadits di atas
seperti perkataan Abdullah bin ‘Amru dan Anas bin Malik.
عَن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُوْ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ قَإِنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ
Dari Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu
‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena
sesungguhnya bunyi suara mereka adalah tasbih”. ( Dikeluarkan oleh Baihaqi)
Perkataan lain:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ
فَإِنَّهَا مَرَّتْ عَلَى نَارِ إِبْرَاهِيْمَ، فَجَعَلَتْ فِيْ أَفْوَاهِهَا
الْمَاءِ، وَ كَانَتْ تَرْشُهُ عَلَى النَّارِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu
‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena dari
mulutnya keluar air yang memancar ke arah api ketika Nabi Ibrahim dibakar.”
Diikat juga dalam kaidah
usul fiqih yang semakna dengan beberapa hujjah di atas. Yaitu:
الأَصْلُ فِى النَّهْيِ للِتَّحْرِيْمِ
“Hukum asalnya sebuah
larangan menunjukkan keharaman”
2.
Pendapat yang membolehkan
Diantara pendapat ulama yang
membolehkan mengkonsumsi katak adalah pendapat Malikiyyah.
Imam Malik mengatakan:
“Dibolehkan makan ikan dan selainnya seperti kepiting, katak, anjing laut, dan
babi laut, akan tetapi babi laut itu menjijikkan. Dalam hal ini Imam Malik
memberitahukan untuk selalu hati-hati.”
Ibnu Abdil Barr menyatakan
dalam bukunya al-Kafi, “Bahwasanya menurut Mazhab Maliki membolehkan
memakan daging ular apabila sudah disembelih, demikian pula daging kadal,
landak dan katak. Boleh juga memakan daging kepiting, kura-kura, katak dan
tidak masalah memakan ikan hasil buruan orang Majusi karena ikan tidak perlu
disembelih.”
Ulama Malikiyyah berpendapat,
“Boleh hukumnya memakan daging katak, serangga, kepiting, dan kura-kura, karena
tidak ada dalil yang mengharamkannya. Adapun pengharaman dengan khabits,
haruslah ada dalil syar’i, bukan dengan pendapat manusia. Jadi, hewan-hewan
yang dianggap khabits oleh manusia hukumnya tidak haram, selama tidak
ada dalil yang mengharamkannya.”
Adapun hujjah yang mereka
gunakan untuk membolehkan mengkonsumsi katak adalah berdasarkan keumuman dalil
yang menyatakan bahwa katak teramasuk hewan laut.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“Dihalalkan bagimu binatang
buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat
bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS.
Al-Maidah: 96)
Keumuman dalil di atas
diperkuat dengan hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang
lautan:
هُوَ الطَّهُورُ
مَاؤُهُ وَ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
"Laut itu suci airnya
dan halal bangkainya." (HR.
an-Nasa’i, Ibnu
Majah, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad).
Ibnu al-‘Arabi berkata:
“Peringatan untuk memakan hewan yang hidup di darat dan di air, karena terdapat
dalil yang saling bertentangan antara kehalalan dan keharamannya, maka sebagai
bentuk kehati-hatian hendaklah mengambil dalil yang haram.”
Terdapat dua masalah utama mengenai konsumsi kodok di Indonesia;
yaitu masalah agama dan lingkungan. Dalam aturan pangan Islam, mayoritas mazhab
dalam hukum syariah menganggap daging kodok bersifat haram (non-halal).
Masuknya daging kodok dalam kategori haram didasari dua
pendapat; makanan yang boleh dikonsumsi tidak boleh menjijikkan, dan adanya
larangan untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut, lebah, dan burung
laut bagi umat Muslim.
Status haram daging
kodok ini menuai kontroversi, seperti contoh kasus di Demak, di mana Bupati
mendesak para pengusaha restoran swike untuk tidak mengkaitkan swike dengan
Demak. Hal ini karena dianggap dapat mencoreng citra Demak sebagai kota Wali
dan kota Islam pertama di pulau Jawa, serta kebanyakan warga Demak adalah
pengikut mazhab Syafi'i yang mengharamkan daging kodok.
Sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan
dalam memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab
utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hambali.
secara jelas melarang konsumsi daging kodok, akan tetapi mazhab
Maliki memperbolehkan umat Islam untuk mengkonsumsi kodok tetapi hanya untuk
jenis tertentu, yaitu hanya kodok hijau
yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit
bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun dan
menjijikkan.
Terus bagai mana dengan sikap MUI selaku lembaga yang dijadikan rujukan fatwa di Indonesia?.. dilansir dari detik.com terkait
kehalalan daging Kodok diperoleh informasi sebagai berikut "Terkait katak atau kodok dan
ada beberapa jenis lain, MUI secara khusus pernah melakukan pengkajian,"
kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (2/5/2017).
Ni'am mengatakan binatang yang hidup di dua alam haram dikonsumsi, sekalipun binatang itu suci dan bisa dikembangbiakkan.
"Para ulama beda pendapat. Tapi jumhur (mayoritas ulama) menyatakan itu terlarang. Tapi MUI juga mengakui ada mazhab yang menyatakan daging katak atau kodok bisa dikonsumsi," kata Ni'am.
Lalu apa kesimpulan dari kajian MUI tersebut? Ni'am mengatakan MUI mengimbau agar daging katak sebaiknya dihindari untuk dikonsumsi mengingat adanya perbedaan pandangan para ulama.
"Fatwanya sudah ada. Mengimbau untuk memilih makanan konsumsi yang aman secara kesehatan dan keluar dari perbedaan pandangan fuqoha (ahli fikih). Kalau bisa dihindari, ya dihindari. Begitu, ya. Karena terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama," kata Ni'am.
Kajian MUI itu juga menyimpulkan hal lain di samping soal konsumsi, yakni pengembangbiakan katak. Untuk poin kedua ini, MUI memberikan lampu hijau sepenuhnya.
"Membudidayakan untuk kepentingan nonkonsumsi, seperti untuk menggemburkan tanah dan lain-lain, itu diperkenankan," ujarnya.
Ni'am mengatakan binatang yang hidup di dua alam haram dikonsumsi, sekalipun binatang itu suci dan bisa dikembangbiakkan.
"Para ulama beda pendapat. Tapi jumhur (mayoritas ulama) menyatakan itu terlarang. Tapi MUI juga mengakui ada mazhab yang menyatakan daging katak atau kodok bisa dikonsumsi," kata Ni'am.
Lalu apa kesimpulan dari kajian MUI tersebut? Ni'am mengatakan MUI mengimbau agar daging katak sebaiknya dihindari untuk dikonsumsi mengingat adanya perbedaan pandangan para ulama.
"Fatwanya sudah ada. Mengimbau untuk memilih makanan konsumsi yang aman secara kesehatan dan keluar dari perbedaan pandangan fuqoha (ahli fikih). Kalau bisa dihindari, ya dihindari. Begitu, ya. Karena terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama," kata Ni'am.
Kajian MUI itu juga menyimpulkan hal lain di samping soal konsumsi, yakni pengembangbiakan katak. Untuk poin kedua ini, MUI memberikan lampu hijau sepenuhnya.
"Membudidayakan untuk kepentingan nonkonsumsi, seperti untuk menggemburkan tanah dan lain-lain, itu diperkenankan," ujarnya.
Para aktivis lingkungan mendesak dibatasinya konsumsi kodok —
terutama kodok liar yang bukan hasil peternakan — karena arti penting kodok
bagi ekosistem. Para ahli konservasi mengingatkan bahwa kodok dapat mengalami
nasib sama seperti ikan kod, permintaan kuliner yang berlebihan dapat
mengurangi populasi kodok regional secara hebat sehingga tidak dapat dipulihkan
seperti sediakala. Seperti kebanyakan hewan amfibia, kodok dengan kulitnya yang
tipis, basah dan berlendir sangat peka dan rentan terhadap perubahan lingkungan
dan pencemaran. Populasi amfibia dunia terancam berkurang karena hancurnya habitat,
kerusakan lingkungan, dan pencemaran.
Dapat disimpulkan
bahwasanya hukum mengkonsumsi katak masih diperselisihkan, akan tetapi menurut
mayoritas ulama adalah haram, baik ketika masih hidup atau sudah mati, dimasak
ataupun dijadikan sebagai obat. Katak termasuk hewan yang buruk untuk
dikonsumsi, maka Allah Ta’ala tidak menyuruh hamba-Nya untuk
mengkonsumsi makanan yang buruk. Indonesia kaya akan keaneka
ragaman kuliner jadi mending pilih menu lainnya yang tidak meragukan ke
halalannya yang tentunya tidak kalah lezatnya.
Wallahu A’lam bish Showab
SPN