Dari waktu ke waktu nama HIV/AIDS semakin terkenal sebagai
penyakit yang mematikan. Terkenalnya nama itu tidak disertai dengan pengetahuan
yang benar tentang nama tersebut. HIV dan AIDS sering disama artikan. Padahal
keduanya memiliki makna yang berbeda. Virus HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab
penyakit yang sangat mematikan dan dikenal dengan nama AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome)
merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan global yang tiada
habisnya dari tahun ke-tahun dan tersebar hampir di seluruh negara di dunia,
termasuk Indonesia.
Virus imunodifisiensi manusia, HIV, telah menjadi virus
mematikan di dunia. Virus yang menyebabkan penyakit AIDS ini telah menjadi
pandemi global.
HIV/AIDS merupakan penyakit yang memiliki sejarah hidup. Sejarah yang terus berkesinambungan sehingga merupakan rentang peristiwa yang panjang dari zaman dahulu hingga sekarang, dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Namun bagaimana riwayat virus ini bisa muncul dan kemudian menyebar ke seluruh dunia belum banyak yang tahu. HIV pada awalnya muncul pada hewan monyet dan kera di Afrika tengah bagian barat.
Penyebaran virus tersebut pada hewan itu kemudian menyebar ke manusia. Dalam beberapa kasus, manusia awalnya terdampak virus ini karena mengonsumsi daging dari monyet atau kera liar yang terinfeksi.
Beberapa kasus penderita HIV awal disebutkan karena mereka memakan daging monyet jenis mangabey.
Sebagaimana diketahui sudah diyakini oleh banyak studi bahwa kera merupakan kerabat dekat manusia. Studi menunjukkan manusia lebih dekat dengan kera dibanding monyet.
HIV/AIDS merupakan penyakit yang memiliki sejarah hidup. Sejarah yang terus berkesinambungan sehingga merupakan rentang peristiwa yang panjang dari zaman dahulu hingga sekarang, dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Namun bagaimana riwayat virus ini bisa muncul dan kemudian menyebar ke seluruh dunia belum banyak yang tahu. HIV pada awalnya muncul pada hewan monyet dan kera di Afrika tengah bagian barat.
Penyebaran virus tersebut pada hewan itu kemudian menyebar ke manusia. Dalam beberapa kasus, manusia awalnya terdampak virus ini karena mengonsumsi daging dari monyet atau kera liar yang terinfeksi.
Beberapa kasus penderita HIV awal disebutkan karena mereka memakan daging monyet jenis mangabey.
Sebagaimana diketahui sudah diyakini oleh banyak studi bahwa kera merupakan kerabat dekat manusia. Studi menunjukkan manusia lebih dekat dengan kera dibanding monyet.
Salah satu yang masuk dalam golongan kera yaitu simpanse dan
gorila. Dengan demikian untuk menyebar ke manusia cukup mudah.
Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika
Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocystis
Carinii dan dua orang gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay
muda dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh.
Di Amerika Utara dan Inggris, epidemik pertama terjadi pada
kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya pada saat ini epidemik terjadi juga
pada pengguna obat dan pada populasi heteroseksual.
Para ilmuwan berhasil mengungkap asal-usul virus HIV. Setengah
dari garis keturunan virus human immunodeficiency atau HIV-1 disebut berasal
dari hewan gorila di Kamerun yang mungkin terjadi akibat perburuan liar hingga
akhirnya menginfeksi manusia.
HIV-1 yang menyebabkan AIDS, terdiri dari empat kelompok, masing-masing berasal dari transmisi lintas-spesies dari kera ke manusia yang sebelumnya terpisah.
Penelitian terbaru seputar asal-usul virus HIV dipublikasi dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Menurut laporan Reuters, penelitian sebelumnya mengidentifikasi simpanse dari Kamerun bagian selatan sebagai sumber HIV-1 kelompok M. Virus ini telah menginfeksi lebih dari 40 juta orang di seluruh dunia yang memicu pandemi AIDS.
HIV-1 yang menyebabkan AIDS, terdiri dari empat kelompok, masing-masing berasal dari transmisi lintas-spesies dari kera ke manusia yang sebelumnya terpisah.
Penelitian terbaru seputar asal-usul virus HIV dipublikasi dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Menurut laporan Reuters, penelitian sebelumnya mengidentifikasi simpanse dari Kamerun bagian selatan sebagai sumber HIV-1 kelompok M. Virus ini telah menginfeksi lebih dari 40 juta orang di seluruh dunia yang memicu pandemi AIDS.
Sementara itu, virus HIV-1 kelompok N diidentifikasi
menginfeksi 20 juta orang.
“Dengan demikian, baik simpanse dan gorila merupakan tempat bagi virus yang mampu melintasi penghalang terhadap spesies manusia dan menyebabkan wabah penyakit besar,” kata ahli virus Martine Peeters dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Montpellier di Perancis.
Dalam penelitian ini, para ilmuwan memeriksa kotoran dari gorila yang berbeda-beda di kawasan Afrika Tengah, termasuk di daratan Barat yang rendah, goril di daratan rendah di timur dan gorila di kawasan gunung di Kamerun, Gabon, Kongo, serta Uganda.
Hingga saat ini, kelompok lain dari virus HIV-1, yaitu kelompok O dan P, belum dikonfirmasi asal-usulnya.
Meski belum diketahui asal-usulnya, HIV-1 kelompok O telah tersebar di Kamerun, Gabon, Nigeria, dan negara tetangga yang telah mengifeksi 100.000 orang. Sementara kelompok P sejauh ini diketahui menginfeksi dua orang di Kamerun.
Para peneliti berkata HIV-1 kelompok O muncul pada awal abad ke-20 dan kelompok P muncul beberapa tahun kemudian di abad itu.
Jenis virus lain yang disebut HIV-2, terbatas penyebarannya di Afrika Barat. Ia dinilai kurang mudah menular dibandingkan HIV-1, perkembangannya juga lebih lambat untuk AIDS. HIV-2 diduga ditularkan dari monyet jenis mangabey di Afrika Barat.
“Dengan demikian, baik simpanse dan gorila merupakan tempat bagi virus yang mampu melintasi penghalang terhadap spesies manusia dan menyebabkan wabah penyakit besar,” kata ahli virus Martine Peeters dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Montpellier di Perancis.
Dalam penelitian ini, para ilmuwan memeriksa kotoran dari gorila yang berbeda-beda di kawasan Afrika Tengah, termasuk di daratan Barat yang rendah, goril di daratan rendah di timur dan gorila di kawasan gunung di Kamerun, Gabon, Kongo, serta Uganda.
Hingga saat ini, kelompok lain dari virus HIV-1, yaitu kelompok O dan P, belum dikonfirmasi asal-usulnya.
Meski belum diketahui asal-usulnya, HIV-1 kelompok O telah tersebar di Kamerun, Gabon, Nigeria, dan negara tetangga yang telah mengifeksi 100.000 orang. Sementara kelompok P sejauh ini diketahui menginfeksi dua orang di Kamerun.
Para peneliti berkata HIV-1 kelompok O muncul pada awal abad ke-20 dan kelompok P muncul beberapa tahun kemudian di abad itu.
Jenis virus lain yang disebut HIV-2, terbatas penyebarannya di Afrika Barat. Ia dinilai kurang mudah menular dibandingkan HIV-1, perkembangannya juga lebih lambat untuk AIDS. HIV-2 diduga ditularkan dari monyet jenis mangabey di Afrika Barat.
Menurut data PBB, sejak 1981 tercatat 78 juta orang telah terinfeksi HIV, dan 39 juta di antaranya meninggal dunia.
Dikutip dari BBC, Jumat 20 November 2015, HIV yang berasal dari kera yaitu jenis virus HIV-1 atau sering disebut HIV-1 grup O.
Namun faktanya, hanya satu bentuk HIV yang mampu menyebar dan
meluas setelah menjangkiti manusia. Jenis virus ini yaitu HIV-1 grup M, yang
berasal dari simpanse. Lebih dari 90 persen infeksi HIV merujuk pada jenis grup
M tersebut.
Sebuah studi pada 2014 menunjukkan jenis virus HIV-1 grup M ternyata tak begitu istimewa dan menakutkan. Malah, virus itu hanya perlu mengambil kondisi sederhana untuk bisa makin menyebar luas.
"Faktor ekologi mendorong ini cepat menyebar dibanding faktor evolusi," kata Nuno Faria, peneliti Universitas Oxford, Inggris.
Untuk sampai pada kesimpulan itu, Faria dan koleganya sebelumnya membangun pohon keluarga HIV. Mereka mencari lapisan keragaman genom HIV dengan mengumpulkan dari 800 orang di Afrika tengah yang terinfeksi virus tersebut.
Ternyata RNA virus HIV berevolusi sejuta kali lebih cepat dibanding DNA manusia. Dengan demikian, kata Faria, tanda tingkat rata-rata mutas akumulasi genom HIV memang sangat cepat. Bukti cepatnya mutasi itu ditunjukkan dengan temuan genom HIV semua berbagi pada nenek moyang yang sama yang telah ada tidak lebih dari 100 tahun lalu. Mereka menemukan orang pertama yang telah terinfeksi HIV-1 grup M kemungkinan terjadi pada 1920-an.
Karena tim Faria telah mengumpulkan urutan sampel genom HIV, mereka akhirnya menemukan, Kinshasa, kota di Republik Demokratik Kongo merupakan tempat pertama kasus infeksi HIV muncul.Dari situ peneliti bisa melacak bagaimana penyebaran HIV meluas sampai ke seluruh dunia.
Pada 1920-an, Republik Demokratik Kongo merupakan jajahan Belgia dan Kinshasa, yang kini dikenal sebagai Leopoldville. Saat itu Kinshasa telah menjadi sebuah kota besar. Kota ini telah menjadi tujuan menarik bagi para pekerja muda untuk mencari pekerjaan. Kota ini juga menarik para pekerja seks untuk melayani kebutuhan biologis orang. Makanya, dari riwayat ini, virus ini makin cepat menyebar melalui populasi ini.
Fakta lain yang membuat Kinshasa makin menjadi pusat penyebaran HIV, karena pada 1920-an, kota ini dikenal sebagai salah satu titik terbaik untuk menghubungkan berbagai kota di Afrika.
Sebuah studi pada 2014 menunjukkan jenis virus HIV-1 grup M ternyata tak begitu istimewa dan menakutkan. Malah, virus itu hanya perlu mengambil kondisi sederhana untuk bisa makin menyebar luas.
"Faktor ekologi mendorong ini cepat menyebar dibanding faktor evolusi," kata Nuno Faria, peneliti Universitas Oxford, Inggris.
Untuk sampai pada kesimpulan itu, Faria dan koleganya sebelumnya membangun pohon keluarga HIV. Mereka mencari lapisan keragaman genom HIV dengan mengumpulkan dari 800 orang di Afrika tengah yang terinfeksi virus tersebut.
Ternyata RNA virus HIV berevolusi sejuta kali lebih cepat dibanding DNA manusia. Dengan demikian, kata Faria, tanda tingkat rata-rata mutas akumulasi genom HIV memang sangat cepat. Bukti cepatnya mutasi itu ditunjukkan dengan temuan genom HIV semua berbagi pada nenek moyang yang sama yang telah ada tidak lebih dari 100 tahun lalu. Mereka menemukan orang pertama yang telah terinfeksi HIV-1 grup M kemungkinan terjadi pada 1920-an.
Karena tim Faria telah mengumpulkan urutan sampel genom HIV, mereka akhirnya menemukan, Kinshasa, kota di Republik Demokratik Kongo merupakan tempat pertama kasus infeksi HIV muncul.Dari situ peneliti bisa melacak bagaimana penyebaran HIV meluas sampai ke seluruh dunia.
Pada 1920-an, Republik Demokratik Kongo merupakan jajahan Belgia dan Kinshasa, yang kini dikenal sebagai Leopoldville. Saat itu Kinshasa telah menjadi sebuah kota besar. Kota ini telah menjadi tujuan menarik bagi para pekerja muda untuk mencari pekerjaan. Kota ini juga menarik para pekerja seks untuk melayani kebutuhan biologis orang. Makanya, dari riwayat ini, virus ini makin cepat menyebar melalui populasi ini.
Fakta lain yang membuat Kinshasa makin menjadi pusat penyebaran HIV, karena pada 1920-an, kota ini dikenal sebagai salah satu titik terbaik untuk menghubungkan berbagai kota di Afrika.
Tercatat ratusan ribu orang mendatangi kota ini setiap tahun.
Makanya virus ini kemudian menyebar sampai kota pada jarak 1500 Km dari
Kinshasa dalam jangka 20 tahun kemudian. Dekade selanjutnya saat Kongo mendapatkan kemerdekaan makin menarik untuk
menjadi sumber pekerjaan, termasuk bagi penduduk Haiti, negara di kepulauan
Karibia benua Amerika.
Karena mencari penghidupan wilayah yang menjadi pandemik HIV itu, kaum muda Haiti yang kembali ke rumah mereka setelah bekerja di area itu pun akhirnya membawa bentuk virus HIV-1 grup M atau disebut subtipe B, ke bagian barat Atlantik. Jarak Kongo ke Haiti diketahui mencapai 9.828 Km.
Selanjutnya, pada 1970-an, virus HIV sudah sampai di Amerika Serikat. Apalagi didukung dengan gaya hidup seks bebas dan perilaku homo di kota seperti New York dan san Francisco.
"Tak ada alasan untuk meyakini subtipe lainnya tak akan menyebar secepat subtipe B, mengingat keadaan ekologi yang sama," kata Faria. Penyebaran HIV belum berakhir dengan pelacakan tersebut. Sebab ada temuan di AS pada 2015, bahwa wabah virus HIV juga menyebar melalui suntik narkoba.
Peneliti Harvard School of Public Health di Boston, Yonatan Grad mengatakan Centers for Disease Control and Prevention telah menganalisis urutan genom HIV dan data tentang lokasi dan waktu infeksi dan menemukan fenomena suntik narkoba tersebut.
"Data ini membantu untuk memahami sejauh mana wabah, dan selanjutnya akan membantu untuk memahami ketika intervensi kesehatan masyarakat telah bekerja," kata Yonatan.
Karena mencari penghidupan wilayah yang menjadi pandemik HIV itu, kaum muda Haiti yang kembali ke rumah mereka setelah bekerja di area itu pun akhirnya membawa bentuk virus HIV-1 grup M atau disebut subtipe B, ke bagian barat Atlantik. Jarak Kongo ke Haiti diketahui mencapai 9.828 Km.
Selanjutnya, pada 1970-an, virus HIV sudah sampai di Amerika Serikat. Apalagi didukung dengan gaya hidup seks bebas dan perilaku homo di kota seperti New York dan san Francisco.
"Tak ada alasan untuk meyakini subtipe lainnya tak akan menyebar secepat subtipe B, mengingat keadaan ekologi yang sama," kata Faria. Penyebaran HIV belum berakhir dengan pelacakan tersebut. Sebab ada temuan di AS pada 2015, bahwa wabah virus HIV juga menyebar melalui suntik narkoba.
Peneliti Harvard School of Public Health di Boston, Yonatan Grad mengatakan Centers for Disease Control and Prevention telah menganalisis urutan genom HIV dan data tentang lokasi dan waktu infeksi dan menemukan fenomena suntik narkoba tersebut.
"Data ini membantu untuk memahami sejauh mana wabah, dan selanjutnya akan membantu untuk memahami ketika intervensi kesehatan masyarakat telah bekerja," kata Yonatan.
Sejumlah ilmuwan lain mengatakan hal serupa pandemi AIDS
pertama kali muncul tahun 1920-an di kota Kinshasa, yang sekarang menjadi
Republik Demokratik Kongo. Para ilmuwan yang tergabung dalam sebuah tim internasional
mengatakan adanya "gempuran" pertumbuhan penduduk, seks dan kemajuan
transportasi berupa rel kereta api memungkinkan virus HIV menyebar.
Teori arkeologi penyakit menular digunakan untuk menemukan
asal muasal pandemi, lapor tim dalam jurnal Science. Mereka menggunakan beberapa sampel arsip kode genetik HIV
untuk melacak sumbernya, dengan bukti yang menunjuk ke era 1920-an di kota
Kinshasa. Sejumlah laporan menyebutkan perdagangan seks yang meningkat,
pertumbuhan penduduk yang cepat dan penggunaan jarum-jarum yang tidak steril di
sejumlah klinik kesehatan memungkinkan penyebaran virus ini.
Sejumlah kereta api yang mengangkut sekitar satu juta orang
pada setiap tahunnya, telah membawa virus ke beberapa wilayah sekitarnya. Para ahli mengatakan penelitian tentang pandemic HIV ini
adalah sebuah wawasan yang menarik. HIV menjadi perhatian dunia pada tahun 1980-an dan hampir 75
juta orang terjangkit virus itu.
Sejarah
AIDS di Indonesia
Selalu mendengung-dengungkan kasus AIDS pertama di Indonesia
adalah kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda di RS Sanglah,
Denpasar, Bali, 1987. Pengakuan ini bermuatan politis, sekaligus mengukuhkan
mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar
negeri, dan AIDS penyakit homoseksual. Mitos ini diperkuat lagi dengan
pernyataan pejabat di awal-awal epidemic sehingga menjadi pegangan banyak orang
sampai sekarang.
Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan
mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Bahkan, terkesan
mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya
bertopang pada norma, moral dan agama, seperti penyebutan ‘seks bebas’,
selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan HIV/AIDS sebagai fakta
medis.
Tahun 1983 dr. Zubairi Djoerban, staf Sub-Bagian
Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan waria di
Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga waria di Jakarta
yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu defenisi AIDS masih
kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan ketiga waria itu,
disebut sebagai AIDS related complex (ARC).
Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal
dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III,
dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh
Depkes.
Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat,
melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena penyakit
terkait AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta.
Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA.
Contoh darah pasien tsb. dites dengan Western blot di RS Walter Reed,
AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes, Prof Dr AA
Loedin, kembali menegaskan bahwa saat ini penderita AIDS belum ada di
Indonesia, tetapi penderita gejala ringan AIDS yang disebut AIDS Related
Complex (ARC), sudah cukup banyak. “Jumlah penderita ARC kalau dihitung
mencapai ratusan.” (Suara Karya, 9/4-1986).
Merunut AIDS di Indonesia
WNI yang meninggal di Denpasar
(1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan
rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Ini jauh sebleum EGH
tiba di Bali. Bahkan, tahun 1987 Depkes RI melaporkan 5 kasus HIV dan 2
kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular antara tahun 1972 dan 1982.
Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS dibawa orang ‘bule’ dari luar
negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb.
Di tahun 1984 Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr. Masri
Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima
transfusi darah pencegahan dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau
waria menjadi donor darah.
Padahal, tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono
Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul
terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau
kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”
Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan
yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi
(perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang
tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi
darah, jarum suntik, dari ibu-ke-bayi yang dikandungnyua dan transplantasi
organ tubuh.
Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV?
Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui
transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang bernak menakar
ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?
Begitu pula dengan pernyataan Ketua PMI yang mengesankan
HIV/AIDS hanya ada di kalangan waria dan homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos
yang sampai sekarang sangat sulit dihapuskan dari memori sebagian orang
Indonesia.
Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta
untuk melakukan suvailan tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko
tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena
di banyak negara kasus HV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama
sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr
Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.
Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RCTM melakukan pemeriksaan
HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang
tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986.
Hasilnya?
Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18
yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan.
Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas selular dan 4 terdapat antigen HIV. Tahun 1987 dilaporkan ada tiga penduduk Indonesia yang
‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang Depkes RI, waktu itu Prof.
Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik Terhadap AIDS.”
Disebutkan pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di
Indonesia. Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua
IDI Cab. Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada: “Biar saja bangsa Barat kalang
kabut, tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa
Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakt
menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Suara Pembaruan,
21/9-1987).
Pada tahun 1989 dilaporkan ada lima orang yang ’diduga’
mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi ke Kelompok Studi Khusus
AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan ada WNI yang meninggal di
RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’ laki-laki ini cemas.
Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi kasus ini.
Kalau saja sejak ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia
dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret tentulah akan lain
hasilnya.Tapi, karena yang tejadi hanya sanggahan dan penyangkalan,
maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV/AIDS terdeteksi terus-menerus di
semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia, setelah
Cina dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV, khususnya di
kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.
Peringatan terhadap Indonesia sudah dikumandangkan oleh Dr
Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam
pidato pembukaan Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP), Melbourne,
2001, Dr Piot secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan
pengguna narkoba dengan jarum suntik berganti-ganti di Indonesia.
Di Indonesia sendiri kasus komulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni
2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI, tercatat 2.150. Dari
jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas 309 HIV dan 106
AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes
RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena
diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W.
Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”,
Jakarta, 6 Oktober 2001) Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan tahun 2011,
kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus HIV/AIDS terus meningkat.
Kasus
HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun terutama dari tahun
2009 ke tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan
sudah semakin baiknya teknologi informasi sehingga pencatatan dan pelaporan
kasus HIV/AIDS yang terjadi di masyarakat sudah semakin baik, serta kerjasama
yang baik dari pemerintah dan masyarakat sehingga populasi komunitas yang
berisiko dapat dijangkau dan diketahui. Kemudian di tahun 2011 terjadi sedikit
penurunan kasus HIV/AIDS hal ini dapat disebabkan penderita yang sudah
meninggal dunia dan efek dari diperkenalkan dan dijalankannya program CUP
(Condom Use 100 Percent).
Program bersama PBB
untuk penanganan AIDS (UNAIDS) mencatat terdapat 630.000 orang terinfeksi HIV
di Indonesia, per tahun 2018. Direktur UNAIDS untuk Indonesia, Tina Boonto,
menuturkan mayoritas pengidap virus tersebut tersebar di DKI Jakarta, Jawa
Timur, dan Papua. "Kita bisa lihat di peta ini, 35 persen dari 630.000
penderita ini yang di seluruh Indonesia ada di Jakarta, Papua dan East Java,"
ujarnya saat konferensi pers di Kantor LBH Masyarakat, Jakarta Selatan, Jumat
(30/11/2018).
Rinciannya, sebanyak 18 persen pengidap HIV berada di Jakarta, 11
persen berlokasi di Jawa Timur, dan tujuh persen berada di Papua. Sayangnya,
hanya 48 persen dari jumlah tersebut atau sekitar 301.959 orang yang mengetahui
bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kemudian, hanya 15 persen atau sekitar
96.298 orang dari total pengidap virus HIV yang berobat dan mengonsumsi obat
antiretroviral (ARV). Tina menuturkan, hal itu berkontradiksi dengan jumlah
unit pelayanan yang tersebar di seluruh Indonesia untuk penyakit itu.
"Berapa service center tapi pencapaiannya masih rendah," ungkap dia.
Ia menuturkan, di tahun 2017, Indonesia telah memiliki 5.124 tempat bagi
masyarakat untuk melakukan konseling dan mengecek apakah mereka mengidap virus
HIV atau tidak.
Selain itu, terdapat 641 pusat pengobatan ARV, 2.344 pusat
pelayanan penyakit menular seksual, dan 233 pusat pelayanan untuk HIV dan
tuberkulosis. Baca juga: Seabad Jadi Momok Dunia, Ahli Temukan Akar Penyebaran
HIV Tina menjelaskan, akar permasalahannya adalah stigma dan diskriminasi dari
masyarakat yang masih berkembang soal penderita HIV/AIDS. "Menurut UNAIDS,
layanan sudah ada, tetapi gara-gara banyak stigma dan diskriminasi yang ada di
Indonesia, orang takut, saya juga kenal banyak orang yang bilang ke saya
mending enggak tahu (dia positif atau tidak)," jelasnya. Kasus HIV/AIDS di
Indonesia, masih menjadi perhatian utama. lantaran setiap tahunnya, kasus
HIV/AIDS terus meningkat. Salah satunya Provinsi Bali, yang terdata 50% dari
kasus yang ditemukan, menyerang usia produktif yakni 15-50 tahun
Perdebatan HIV-AIDS di Indonesia
Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS
sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A.
Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI,
mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan terntang AIDS tapi tidak
menimbulkan kepanikan.
Kepada “Kompas” Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan
ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Biaya yang mahal
akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga
diperlukan untuk memeriksa antibody HIV pada orang-orang yang diduga tertular
HIV.
Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI mendeteksi
antibody dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp 10.000. (Kompas,
10/8-1985). Terkait dengan informasi HIV/AIDS melalui media massa yang
tidak komprehensif sudah disuarakan oleh Prof. Dr A A Loeddin, ketika itu
Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak
membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS.
Media massa
dinilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat
masyarakat gelisah. (Tajuk Rencana, Suara Pembaruan, 22/6-1987). Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar
’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini
Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad, mengatakan: Ribut-ribut tentang
AIDS. Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan
jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang
dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter.
Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan. Kalau memang berita pers
tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan berita itu. (Kompas,
9/4-1986).
Pernyataan pakar-pakar tentang HIV/AIDS di Indonesia
ternyata hanya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’ karena dibantah
oleh pejabat dan pemuka masyarakat yang justru didengar rakyat walaupun yang
mereka sampaikan hanya mitos.
Lilatlah pernyataan dr Adhyatma, ketika itu Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP),
Depkes RI, “ …. mengakui sulit mencegah masuknya AIDS ke Indonesia, karena
Indonesia adalah negara terbuka. “Apalagi di sana sini banyak praktek pelacuran
dan kebiasaan kumpul kebo pun mulai masuk ke Indonesia. Jadi AIDS sulit dicegah
masuk. Tapi sebenarnya memberantasnya tidak sulit. Caranya, berantas saja
perzinahan dan kemesuman. Dan ini tentu bukan tugas Depkes saja.” (Kompas,
4/9-1985).
Pernyataan-pernyataan yang tidak akurat terus bermunculan
dengan muatan norma, moral dan agama. Coba simak beita ini: Boyke Dian Nugraha:
Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr.
Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang
yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak
perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah
menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat bebicara dalam
seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5/2000).
Mengumbar mitos terus terjadi, seperti yang diberitakan
Harian “Pos Metro Balikpapan” (30/5-2009) ini: Pada kesempatan itu, dr
Boyke juga memaparkan bahaya atau dampak yang ditimbulkan dari selingkuh
berupa, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit kelamin diantaranya AIDS dan
perceraian. “AIDS itu ‘kan anunya itu dimasukan sembarangan, jadi kalau
enggak mau kena AIDS jangan berselingkuh,” tegasnya yang lagi-lagi disambut
tawa kaum ibu. Untuk menginspirasi agar orang tidak berselingkuh, kemarin, ia
pun memperdengarkan salah satu lagu dari album Bunga Jantungku.
Kalangan artis pun ikut pula nimbrung menyuburkan mitos.
Pada acara Redaktur Hebooh (ANTEVE, 21/4-2000), Nurul
Arifin mengatakan selingkuh sebagai salah satu faktor risiko penularan HIV
(Newsletter HindarAIDS No. 46, 5 Juni 2000). Pernyataan yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS terus
berlanjut. Ini judul berita di Harian “Fajar”, Makassar, 2/12-2005: JK
(Wakil Presiden Jusuf Kalla-pen.): Mau Tetap Berdosa, Pakai Kondom. Dalam
berita disebutkan JK mengatakan: "Yang harus kita katakan adalah melakukan
hubungan seks tidak dengan istri itu adalah dosa. Tetapi, kalau Anda memang
tetap ingin berdosa ya, pakailah kondom agar tidak mengorbankan keluarga dan
diri sendiri."
Ini masih pernyataan Wapres Jusuf Kalla: “Anak-anak yang
ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain
sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang
turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau
melakukan pernikahan singkat (Harian ”Kompas”, 1/7-2006) Maka, tidak
mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS
yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan
penanggulangan epidemi HIV di puluhan Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia.
Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang
konkret.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di
laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan
pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis. Tampaknya, sebagian dari kita memilih ‘debat kusir’ soal
penanggulangan epidemi HIV dengan membenturkan norma, moral dan agama kepada
fakta medis. Jika paradigma kita tidak berubah, maka kita tinggal menunggu
pengalaman Thailand terjadi di Indonesia.
Dua dekade yang lalu pemerintah Thailand sudah diingatkan
oleh pakar epidemiologi agar menanggulangi epidemi HIV dengan serius. Tapi,
penerintah Negeri Gajah Putih itu menampik dengan alasan masyarakatnya
berbudaya dan beragama. Satu dekade kemudian dilaporkan kasus HIV/AIDS
mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari pariwisata hanya bisa menyumbang 2/3
kepada biaya penanggulangan HIV/AIDS di sana.
Untunglah bhiku di Thailand membuka pintu vihara lebar-lebar
bagi penderita AIDS yang tidak tertampung di rumah sakit. Jerih payah tanpa
pamrih bhiku ini menghasilkan Hadiah Ramon Magsaysay. Sebuah penghargaan
internasional. Indonesia juga ‘beruntung’ karena ada donor asing yang
mendanai penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, jika kelak donor hengkang: maka APBN
dan APBD akan ‘digerogoti’ untuk biaya penanggulangan epidemi HIV?
Apakah pintu rumah-rumah ibadah di negeri ini juga terbuka
lebar bagi Odha?
Sejarah akan mencatat tanggapan dan sikap sebagian orang di
negeri ini terhadap epidemi HIV dan perlakuan terhadap Odha.
Peringatan Dunia
Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS,
tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS sudah ada di
Indonesia setelah kematian EGH, 44 tahun, seorang turis asal Belanda di RS
Sanglah, Denpasar, Bali, tanggal 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. Laporan
Imigrasi menyebutkan EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.
Kasus ini membuat Indonesia masuk dalam daftar Badan
Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai negara ke-13 di benua Asia yang melaporkan ada
kasus AIDS. Indonesia kemudian menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai
penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No.
72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988.
Ketika Indonesia ‘geger’ karena kematian ‘bule’ di Denpasar
itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35
tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah,
Denpasar, Bali, 23 Juni 1988. Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western
blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Sekretaris Panitia
Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH, membenarkan hal itu. Tes
dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan
hasil positif. (Kompas, 22/7-1988).
Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit paling mematikan dalam
sejarah. Penyakit adalah bagian dari alam. Namun, kita harus melakukan yang
terbaik untuk mencegah penyebaran penyakit ini, dan untuk mendidik masyarakat
tentang pencegahan penyakit yang sudah ada di sekitar kita. Tidak lupa untuk
senantiasa membudayakan hidup sehat agar senantiasa terhindar dari penyakit.
Semoga artikel ini dapat sedikit banyak dapat menambah wawasan kita tentnag sejarah HIV-AIDS ada salah kata atau apapun dalam penerbitan artikel ini penulis mohon maaf, saran dan kritik membangun yang penulis tunggu, terimakasih
(dari berbagai sumber)
SPN